BaTuTing (Baca Tulis Posting) Solusi Ringkas Atasi Gemar Membaca
Nur Muchamad Sholichuddin, S.Ag, M.Pd (SMK Plus NU Sidoarjo)
Membaca sebagai ketrampilan awal yang berperan penting dalam pengembangan pengetahuan. Sayangnya banyak pelajar belum menguasai keterampilan ini. Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement ) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yang dilakukan setiap lima tahun sekali, menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA (Programme for International Student Assessment) 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2012. Berdasarkan data-data tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kompetensi membaca peserta didik Indonesia tergolong rendah.
Rendahnya kompetensi membaca tentu menjadi sebab pendidikan kurang berkualitas. Literasi menjadi salah satu kunci utama dalam menciptakan pendidikan berkualitas. Pendidikan yang sewajarnya menjadi solusi untuk menjawab tantangan persaingan dunia. Kita perlu menyontek Finlandia, peringkat pertama literasi dunia, dalam kesuksesannya mengembangkan kualitas pendidikan dengan berliterasi. Literasi yang lebih kita kenal dengan membudayakan membaca dan menulis. Pembiasaan yang diperjuangkan agar benar-benar mengakar kuat..
Literasi dalam ranah membudayakan baca dan tulis merupakan rangkaian dari kemampuan berbahasa tingkat tinggi. Membaca menjadi kemampuan yang harus dimiliki seseorang sebelum mahir dalam menulis. Membaca sebagai kemampuan merekam pengetahuan sangat diperlukan dalam proses menulis. Rekaman pengetahuan diperoleh tidak hanya dari membaca namun juga informasi media lain yang saling mendukung. Rekaman tersebut kemudian dipahami dan diterima oleh otak. Semakin banyak rekaman pemahaman yang diperoleh, semakin mudah informasi dirangkai dalam bentuk tulisan.
Gemar Membaca di SMK Plus NU Sidoarjo
Pendidikan sebagai proses pengembangan kompetensi terhadap pengetahuan belum sepenuhnya memfungsikan diri sebagai organisasi pembelajaran. Peserta didik sebagai warga pembelajar belum mentasbihkan dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat. Sehingga membaca masih menjadi kegiatan yang berat dilakukan, apalagi bagi pembelajar tingkat SMK. Berbagai alasan akan dikemukakan sebagai pembelaan. Alasan yang paling utama bagi pembelajar SMK adalah memfokuskan diri dalam pengembangan kompetensi kejuruan.
Gemar membaca dikembangkan dalam Literasi baca di SMK terutama SMK Plus NU Sidoarjo tidak sepenuhnya berjalan baik. Literasi baca seperti yang diprosedurkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015, dengan salah satu agenda yaitu, “kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai.” SMK Plus NU Sidoarjo menjalankan agenda tersebut dengan meningkatkan nilai spiritual keagamaan yaitu dengan membaca Quran. Nilai spiritual ini diharapkan mampu menguatkan peserta didik sebagai pembelajar yang berkarakter dan berakhlakul karimah. Didukung pula dengan gerakan sholat Duha berjamaah sebagai bentuk kepasrahan umat kepada Tuhannya. Literasi baca semacam ini tidak hanya bermanfaat dalam kehidupan dunia namun sekaligus diperlukan sebagai tabungan di akhirat.
Sebagai sekolah kejuruan doktrin: kompetensi kejuruan harus diutamakan, sudah setengah mengakar bagi pembelajar SMK Plus NU Sidoarjo. Peserta didik lebih memfokuskan diri dalam peningkatan kompetensi kejuruan bahkan meminggirkan kompetensi dalam mata pelajaran lain. Masalah yang sering terjadi adanya anggapan bahwa membaca hanyalah tugas guru bahasa Indonesia saja. Membaca dan menulis merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi guru bahasa Indonesia. walaupun semua pihak sepakat bahwa membaca sangat diperlukan di semua bidang ilmu. Ataupun membaca adalah landasan utama pengetahuan namun aplikasi Gemar Membaca (literasi baca juga admisnistrasinya) masih dianggap sederhana.
Tantangan ini bukan tanpa sebab. Efektivitas waktu belajar di SMK berbeda dibanding sekolah lain, terutama dalam hal kejuruan atau PKL (Praktik Kerja Lapangan). Uniknya penulis merasa bahwa banyak pembelajar (SMK Plus NU Sidoarjo) justru mengaku lebih gemar membaca ketika masa PKL. Beberapa kesenggangan waktu selama praktik di lapangan dihabiskan dengan membaca. Uniknya lagi, pembelajar ini rata-rata memilih novel sebagai teman. Baik meminjam di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan daerah. Masih sedikit diantara mereka yang membeli sendiri. Menjadi lebih unik, sebab kegiatan seperti ini justru terkesan berat sebelum masa PKL. Rata-rata pembelajar hanya membaca setelah mendapat tugas menyusun laporan baca dari guru bahasa Indonesia. Namun saat PKL justru pembelajar rela membaca buku tanpa melaporkan hasil bacaannya.
BaTuTing sebagai Inovasi
Sudah tidak diragukan lagi, guru bahasa Indonesia memiliki peran utama dalam keberhasilan literasi baca di sekolah. Padatnya program kurikulum dalam sekolah kejuruan belum memungkinkan literasi mampu dijalankan penuh. Dalam hakikatnya, konteks literasi (membaca dan menulis) sudah dipraktikkan sepenuhnya oleh pembelajar, bahkan disetiap mata pelajaran. Misalkan saja seorang pembelajar menyelesaikan tugas mata pelajaran PKn sub tema Gotong Royong. Tak pelak, pembelajar pasti akan membaca dalam upayanya menggali informasi.
Literasi baca yang disepahamkan untuk dibiasakan menjadi sebuah budaya, masih dirasa sulit oleh sebagian besar guru. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa gemar membaca hanya diarahkan untuk bacaan sastra. Ada pula anggapan gerakan literasi baca hanya menguntungkan mata pelajaran bahasa Indonesia. Kekeliruan pendapat semacam ini jelas menjadi tantangan tersendiri dalam melaksanakan gerakan literasi di sekolah. Tantangan yang jika disederhanakan menjadi literasi administrasi, yaitu pencatatan, pengumpulan atau pelaporan baik itu kegiatan baca atau tulis.
Batuting atau baca, tulis, posting menjadi andalan yang sudah dipraktikkan penulis. Kegiatan membaca yang terkesan berat di awal memang perlu dikuatkan. Tidak hanya membaca namun juga melaporkan hasil bacaan. Kegiatan ini harus dikawal betul terutama di kelas X sebagai kelas pembiasaan awal. Untuk materi pelajar lain, guru lebih sering memberikan tugas dalam bentuk rangkuman. Kegiatan ini sangat menunjang pembiasaan gemar membaca seklaigus tantangan. Sebab, seringkali pembelajar lebih memberatkan menyelesaikan rangkuman (terutama mapel jurusan) dibanding menyesaikan laporan baca.
Untuk mengatasi hal ini, guru harus dituntut melek sosial media. Teknik pelaporan baca boleh sedikit dilonggarkan. Pembelajar yang sudah menerima banyak tugas merangkum juga sudah pasti telah membaca. Laporan baca dalam proses ini mengikuti tugas yang diselesaikan pembelajar. Ibarat, sekali dayung dua atau tiga pulau terlampaui. Begitu juga dengan pelaporan baca, ketika pembelajar sudah membaca buku jurusan untuk dirangkum, laporan baca mengikuti tugas tersebut. Peran media sosial dimanfaatkan dengan cara memosting hasil bacaan tersebut ke akun sosial media yang dimiliki pembelajar. Dengan tujuan menyebarkan informasi baik dan meningatkan kepercayaan diri pembelajar atas hasil karyanya (tulisan/rangkuman).
Kegiatan posting ke akun sosial media ini juga berdampak baik bagi pembelajar. Salah satunya motivasi menggunakan sosial media dengan cara positif. Bukan pekara mudah bagi pembelajar yang lebih suka curcol (curhat) di akun sosial media kemudian mendadak diwajibkan posting hal-hal baik. Seringkali penulis menerima laporan dari pembelajar mengenai tanggapan pascaposting. Dari tanggapan yang positif mengenai isi sampai negatif, misalkan saja ‘tumben’. Penulis menganggap kegiatan ini termasuk budaya menggunakan sosial media secara positif. Ataupun budaya berbahasa yang santun di media sosial.
Sebagai seorang guru pembelajar, guru tentu harus terus belajar mengakses banyak informasi. Hasil postingan tentu harus mendapat fedback positif, dengan tambahan point dalam beberapa KD atau ketrampilan. Jangan pelit nilai jika siswa sebagai pembelajar sudah mau belajar dan mencoba belajar. Hargai upaya mereka, yang awalnya malu memosting tulisannya sampai berani. Semua ini merupakan proses yang tidak boleh berhenti, demi mengakarnya gemar membaca untuk negeri.